PBU2U

LIWAA TAHLILI

basmalaa

Rabu, 25 Januari 2012

jangan jadi bebek


Jangan jadi bebek !
       Tunduk kepada khayalan dan mengikatkan diri semata-mata pada kecenderungan akal, plus ketidaktahuan terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui, adalah jalan menuju kesesatan, yang kadang-kadang seluruhnya, atau salah satu diantaranya, menyatu dalam diri seseorang. Yang demikian ini, cukup sudah sebagai jaminan bagi terjadinya kekeliruan persepsi, rusaknya akidah, dan terjadinya dekadensi.
      Itu sebabnya, maka diturunkanlah akidah Islam yang komprehensif, memenuhi tuntutan emosi dan rasio, mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kebodohan, lalu menyinari jalan yang dilaluinya. Karena itu, barang siapa mengikuti apa yang diajarkannya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian beriman kepada segala sesuatu yang disampaikan oleh Al-Quran, berarti dia telah memperoleh petunjuk, dilindungi dan dipenuhi segala kebutuhannya. Dan barang siapa menyimpang darinya, berarti dia telah disesatkan setan : Barang siapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidaklah dia mempunyai cahaya (petunjuk) sedikitpun (QS. An-Nur: 40).
       manusia - baik yang Mukmin maupun non Mukmin - mengetahui adanya makhluk gaib, maka wahyu ternyata membatasi jalan kita untuk mengetahui alam gaib ini dari pandangan kita, sekalipun kadang-kadang kita bisa merasakan kehadirannya. Sementara itu, Sunnah Nabi pun telah menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib tersebut, sehingga kita tidak tersesat dari jalan yang benar.

Selasa, 24 Januari 2012

akhlakue


AKHLAK
Pengertian Akhlak
Kata  “akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak daru “khuluqun” yang menurut bahasa berarti “budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat”. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “khalqun” yang berarti kejadian, yang erat kaitannya juga dengan “khaaliq” yang berarti pencipta.  Demikian pula dengan “makhluqun” yang berarti yang diciptakan.
Secara istilah akhlak bias diartikan berbagai perspektif sesuai dengan para ahli tasawuf diantaranya :
a.       Ibnu Maskawaih memberikan definisi sebagai berikut :


Artinya:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran (terlebih dahulu)”.
b.      Imam Al-Ghazali


Artinya :
“akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pemikiran (terlebuh dahulu ”.
c.       Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa yang dim aksud akhlak adalah “Adatul Iradah” atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam satu tulisannya yang berbunyi :



Artinya :
“sementara orang membuat definisi .akhlak, bahwa yang disebut akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlak”.
         Makna kata “kehendak” dan kata “kebiasaan” dalam pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kehendak adalah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, serta kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan. Dan gabungan dari kekuatan besar inilah yang disebut akhlak.
         Sekalipun ketiga definisi akhlak diatas berbeda kata-katanya, tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya. Bahkan berdekatan artinya satu dengan yang lain. Sehingga Prof. Kh. Farid Ma’ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut :
“Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu”.
A.    Dalil Tentang Akhlak
·   “Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad)
·   “Yang paling banyak memasukan manusia kedalam syurga adalah takwa dan akhlak mulia” (HR. Bukhari)
·   “Tidak ada sesuatu yang paling berat timbangan seseorang hamba selain dari akhlak yang mulia” ( HR. Bukhari)
·   “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang sempurna budi pekertinya” (HR. Tirmidzi)
·  QS. Annisa ayat 36






Artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.
·   QS. Shad ayat 46




Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”.



B.     Sumber Akhlak
Persoalan "akhlak" didalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat dalam al-Hadits sumbertersebut mrupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hri bagi manusia ada yang menjelaskan artibaik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang mestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.
Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertititk tolak dari aqidah yang diwahyukan Allah kepada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya. Akhlak Islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari pada agama itu sendiri.
Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak adalah al- Qur'an dan al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri.26 Pribadi Nabi Muhammad adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam membentuk kepribadian. Begitu juga sahabat-sahabat Beliau yang selalu berpedoman kepada al-Qur'an dan as-Sunah dalam kesehariannya.
Beliau bersabda:



Artinya: Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Nabi saw bersabda,"telah ku
tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang
kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-
Nya.
         Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan atau tindakan
manusia apapun bentuknya pada hakekatnya adalah bermaksud mencapai
kebahagiaan, sedangkan untuk mencapai kebahagiaan menurut sistem moral atau
akhlak yang agamis (Islam) dapat dicapai dengan jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjauhi segala larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni al- Qur'an dan al-Hadits.
C.    Macam-macam Akhlak
Dalam bukunya Drs. Barmawie menguraikan tentang 2 macam akhlak yaitu :
Akhlaaqul Mahmudah( Terpuji)
1. Amanah : dapat dipercaya
2. Aliefah : Disenangi
3. Al 'afwu : pema'af
4. Aniesatun : manis muka
5. Alkhairu : Baik
6. Al Khusyuu' : Tekun sambil menundukan hati
7. Ad Dhiyafah : menghormati tamu
8. Al Ghufraan : Suka memberi maaf
9. Al Hayaau : Malu perbuat tercela
10. Al Hilmu: menahan diri dari berbuat maksiat
11. Al Hukmu Bil'adli : Menghukum secara adil
12. Al Ikhwauu: Senang bersaudara
13. Al Ihsan : berbuat baik
14. Al 'Ifaafah: Memelihara kesucian diri
15. Al Muru'ah: berbudi tinggi
16. An Nadhaafah : bersih
17. Ar rahmah : belas kasih
18. As Sakhaau : Pemurah
19. As Salaam : Kesentosaan
20. As Sholihat : Bermal sholih
21. As Shabru : Sabar
22. Ash Shidqotu : Jujur
23. Asy Syaja'ah : Berani
24. At Ta'awun : Saling toong menolong
25. At Tawadhu' : Rendah hati
26. At Thadaru' ; Merendahkan diri terhadap Allah
27. Qona'ah : Merasa cukup dengan apa yang ada
28. 'Izatun Nafsi : Berjiwa kuat

Akhlakul Madzmuumah (Tercela)
1.Anaaniah : Egoistis
2. Al baghyu : lacur
3. Al bukhlu ; kikir
4. Al Buhtan : Mengada-adakan seustau yang tidak ada
5. Al Khamru : Peminum khamr
6. Al Khiyanah : Khianat
7. Adh Dhulmu : Aniaya
8. Al Jubun : pengecut
9. AL fawaahisy : Berbuat dosa besar
10. Al Gadhab : pemarah
11. Al Ghassyu : menipu
12. Al Ghiebah : Mengumpat , membicarakan keburukan orang lain
13. Al Ghina ; merasa tidak butuh orang lain
14. Al Ghurur : Mengelabui
15. Al Hayaatud Dunyaa: Lebih cinta dunia, lupa akherat
16. Al Hasad : dengki
17. Al Hiqdu : Dendam
18. Al Ifsaad : berbuat kerusakan
19. Al Intihar : Menjerumuskan diri ke dalam kesesatan
20. Al Israaf : berlebih-lebihan
21. Takabur
22. Al Kadzbu : Dusta
23. Alkufru : meningkari nikmat
24. Al liwaat : Homo sexual
25 Al mAkru : Penipuan
26. An Namiemah : mengadu domba
27. Qotlun nafsi : membunuh tanpa alasan yang dibenarkan agama
28. Ar Ribaa : memakan riba
29. Ar Riyaa': Mencari muka
30 : As Shikhriyah : berolok-olok
31. As Sirqoh : Mencuri
32. As Syahwat : mengikuti hawa nafsu
33. At Tabdzier : MEnyia-nyiakan ( Mubazir)





Daftar Pustaka

http://islamwiki.blogspot.com
Under Creative Commons License:
Attribution

SYARH AL-FIYAH LI-AHMADA



[ شرح إبن عقيل - ابن عقيل ]
الكتاب : شرح إبن عقيل
المؤلف : بهاء الدين عبد الله بن عقيل العقيلي المصري الهمذاني
الناشر : دار الفكر - دمشق
الطبعة الثانية ، 1985
تحقيق : محمد محيي الدين عبد الحميد
عدد الأجزاء : 4


بسم الله الرحمن الرحيم
( قال محمد هو ابن مالك ... أحمد ربي الله خير مالك )
( مصليا على النبي المصطفى ... وآله المستكملين الشرفا )
(1/10)

( وأستعين الله في الفيه ... مقاصد النحو بها محويه )
( نقرب الأقصى بلفظ موجز ... وتبسط البذل بوعد منجز )
( وتقتضي رضا بغير سخط ... فائقة ألفية ابن معط )
(1/11)

( وهو بسبق حائز تفضيلا ... مستوجب ثنائي الجميلا )
( والله يقضي بهبات وافره ... لي وله في درجات الآخره )
(1/12)

الكلام وما يتألف منه
( كلامنا لفظ مفيد كاستقم ... واسم وفعل ثم حرف الكلم )
( واحده كلمة والقول عم ... وكلمة بها كلام قد يؤم )
(1/13)

الكلام المصطلح عليه عند النحاه عبارة عن اللفظ المفيد فائدة يحسن السكوت عليها فاللفظ جنس يشمل الكلام والكلمة والكلم ويشمل المهمل كديز والمستعمل كعمرو ومفيد أخرج المهمل وفائدة يحسن السكوت عليها أخرج الكلمة وبعض الكلم وهو ما تركب من ثلاث كلمات فأكثر ولم يحسن السكوت عليه نحو إن قام زيد
ولا يتركب الكلام إلا من اسمين نحو زيد قائم أو من فعل و اسم كقام زيد وكقول المصنف استقم فإنه كلام مركب من فعل أمر وفاعل مستتر والتقدير استقم أنت فاستغنى بالمثال عن أن يقول فائدة يحسن السكوت عليها فكأنه قال الكلام هو اللفظ المفيد فائدة كفائدة استقم
(1/14)
-
وإنما قال المصنف كلامنا ليعلم أن التعريف إنما هو للكلام في اصطلاح النحويين لا في اصطلاح اللغويين وهو في اللغة اسم لكل ما يتكلم به مفيدا كان أو غير مفيد
والكلم اسم جنس واحده كلمة وهي إما اسم وإما فعل وإما حرف لأنها إن دلت على معنى في نفسها غير مقترنة بزمان فهي الاسم وإن اقترنت بزمان فهي الفعل وإن لم تدل على معنى في نفسها بل في غيرها فهي الحرف
والكلم ما تركب من ثلاث كلمات فأكثر كقولك إن قام زيد
(1/15)
-
والكلمة هي اللفظ الموضوع لمعنى مفرد فقولنا الموضوع لمعنى أخرج المهمل كديز وقولنا مفرد أخرج الكلام فإنه موضوع لمعنى غير مفرد
ثم ذكر المصنف رحمه الله تعالى أن القول يعم الجميع والمراد أنه يقع على الكلام أنه قول ويقع أيضا على الكلم والكلمة أنه قول وزعم بعضهم أن الأصل استعماله في المفرد
ثم ذكر المصنف أن الكلمة قد يقصد بها الكلام كقولهم في لا إله إلا الله كلمة الإخلاص
وقد يجتمع الكلام والكلم في الصدق وقد ينفرد أحدهما
فمثال اجتماعهما قد قام زيد فإنه كلام لإفادته معنى يحسن السكوت عليه وكلم لأنه مركب من ثلاث كلمات
ومثال انفراد الكلم إن قام زيد
ومثال انفراد الكلام زيد قائم
( بالجر والتنوين والندا وأل ... ومسند للاسم تمييز حصل )
ذكر المصنف رحمه الله تعالى في هذا البيت علامات الاسم
(1/16)
-
فمنها الجر وهو يشمل الجر بالحرف والإضافة والتبعية نحو مررت بغلام زيد الفاضل فالغلام مجرور بالحرف وزيد مجرور بالإضافة والفاضل مجرور بالتبعية وهو أشمل من قول غيره بحرف الجر لأن هذا لايتناول الجر بالإضافة ولا الجر بالتبعية
ومنهما التنوين وهو على أربعة أقسام تنوين التمكين وهو اللاحق للأسماء المعربة كزيد ورجل إلا جمع المؤنث السالم نحو مسلمات وإلا نحو جوار وغواش وسيأتي حكمهما وتنوين التنكير وهو اللاحق للأسماء المبنية فرقا بين معرفتها ونكرتها نحو مررت بسيبويه وبسيبويه آخر وتنوين المقابلة وهو اللاحق لجمع المؤنث السالم نحو مسلمات فإنه في مقابلة النون في جمع المذكر السالم كمسلمين وتنوين العوض وهو على ثلاثة أقسام عوض عن جملة وهو الذي يلحق إذ عوضا عن جملة تكون بعدها كقوله تعالى ( وأنتم حينئذ تنظرون ) أي حين إذ بلغت الروح الحلقوم فحذف بلغت الروح الحلقوم وأتى بالتنوين عوضا عنه وقسم يكون عوضا عن اسم وهو اللاحق لكل عوضا عما تضاف إليه نحو كل قائم أي كل إنسان قائم فحذف إنسان وأتى بالتنوين عوضا عنه
(1/17)
-
وقسم يكون عوضا عن حرف وهو اللاحق لجوار وغواش ونحوهما رفعا وجرا نحو هؤلاء جوار ومررت بجوار فحذفت الياء وأتي بالتنوين عوضا عنها
وتنوين الترنم وهو الذي يلحق القوافي المطلقة بحرف علة كقوله
( أقلى اللوم عاذل والعتابن ... وقولي إن أصبت لقد أصابن )
(1/18)
-
فجيء بالتنوين بدلا من الألف لأجل الترنم وكقوله
( أزف الترحل غير أن ركابنا ... لما تزل برحالنا وكأن قدن )
(1/19)
-
والتنوين الغالي وأثبته الأخفش وهو الذي يلحق القوافي المقيدة كقوله
( وقاتم الأعماق خاوي المخترقن ... )
(1/20)
-
وظاهر كلام المصنف أن التنوين كله من خواص الاسم وليس كذلك بل الذى يختص به الاسم إنما هو تنوين التمكين والتنكير والمقابلة والعوض وأما تنوين الترنم والغالي فيكونان في الاسم والفعل والحرف
ومن خواص الاسم النداء نحو يا زيد والألف واللام نحو الرجل والإسناد إليه نحو زبد قائم
فمعنى البيت حصل للاسم تمييز عن الفعل والحرف بالجر والتنوين والنداء والألف واللام والإسناد إليه أي الإخبار عنه
واستعمل المصنف أل مكان الألف واللام وقد وقع ذلك في عبارة بعض المتقدمين وهو الخليل واستعمل المصنف مسند مكان الإسناد له
(1/21)
-
( بتا فعلت وأتت ويا افعلى ... ونون أقبلن فعل ينجلي )
ثم ذكر المصنف أن الفعل يمتاز عن الاسم والحرف بتاء فعلت والمراد بها تاء الفاعل وهي المضمومة للمتكلم نحو فعلت والمفتوحة للمخاطب نحو تباركت والمكسورة للمخاطبة نحو فعلت
ويمتاز أيضا بتاء أتت والمراد بها تاء التأنيث الساكنة نحو نعمت وبئست فاحترزنا بالساكنة عن اللاحقة للأسماء فإنها تكون متحركة بحركة الإعراب نحو هذه مسلمة ورأيت مسلمة ومررت بمسلمة ومن اللاحقة للحرف نحو لات وربت وثمت وأما تسكينها مع رب وثم فقليل نحو ربت وثمت
(1/22)
-
ويمتاز أيضا بياء أفعلي والمراد بها ياء الفاعلة وتلحق فعل الأمر نحو اضربي والفعل المضارع نحو تضربين ولا تلحق الماضي
وإنما قال المصنف يا افعلى ولم يقل ياء الضمير لأن هذه تدخل فيها ياء المتكلم وهي لا تختص بالفعل بل تكون فيه نحو أكرمني وفى الاسم نحو غلامي وفى الحرف نحو إني بخلاف ياء افعلي فإن المراد بها ياء الفاعلة على ما تقدم وهي لا تكون إلا في الفعل
ومما يميز الفعل نون أقبلن والمراد بها نون التوكيد خفيفة كانت أو ثقيلة فالخفيفة نحو قوله تعالى ( لنسفعا بالناصية ) والثقيلة نحو قوله تعالى ( لنخرجنك يا شعيب )
فمعنى البيت ينجلي الفعل بتاء الفاعل وتاء التأنيث الساكنة وياء الفاعلة ونون التوكيد
( سواهما الحرف كهل وفي ولم ... فعل مضارع يلي لم كيشم )
(1/23)
-
شرح ابن عقيل الجزء الأول
( وماضي الأفعال بالتامز وسم ... بالنون فعل الأمر إن أمر فهم )
يشير إلى أن الحرف يمتاز عن الاسم والفعل بخلوه عن علامات الأسماء وعلامات الأفعال ثم مثل بهل وفي ولم منبها على أن الحرف ينقسم إلى قسمين مختص وغير مختص فأشار بهل إلى غير المختص وهو الذي يدخل على الأسماء والأفعال نحو هل زيد قائم وهل قام زيد وأشار بفي ولم إلى المختص وهو قسمان مختص بالأسماء كفي نحو زيد في الدار ومختص بالأفعال كلم نحو لم يقم زيد
ثم شرع في تبيين أن الفعل ينقسم إلى ماض ومضارع وأمر فجعل علامة
(1/24)
-
المضارع صحة دخول لم عليه كقولك في يشم لم يشم وفي يضرب لم يضرب وإليه أشار بقوله فعل مضارع يلي لم كيشم
ثم أشار إلى ما يميز الفعل الماضي بقوله وماضي الأفعال بالتامز أي ميز ماضي الأفعال بالتاء والمراد بها تاء الفاعل وتاء التأنيث الساكنة وكل منهما لا يدخل إلا على ماضي اللفظ نحو تباركت ياذا الجلال والإكرام ونعمت المرأة هند وبئست المرأة دعد
ثم ذكر في بقية البيت أن علامة فعل الأمر قبول نون التوكيد والدلالة على الأمر بصيغته نحو اضربن واخرجن
فإن دلت الكلمة على الأمر ولم تقبل نون التوكيد فهي اسم فعل وإلى ذلك أشار بقوله
( والأمر إن لم يك للنون محل ... فيه هو اسم نحو صه وحيهل )
(1/25)
-
فصه وحيهل اسمان وإن دلا على الأمر لعدم قبولهما نون التوكيد فلا تقول صهن ولا حيهلن وإن كانت صه بمعنى اسكت وحيهل بمعنى أقبل فالفارق بينهما قبول نون التوكيد وعدمه نحو اسكتن وأقبلن ولا يجوز ذلك في صه وحيهل
(1/26)
-
المعرب والمبني
( والاسم منه معرب ومبني ... لشبه من الحروف مدني )
يشير إلى أن الاسم ينقسم إلى قسمين أحدهما المعرب وهو ما سلم من شبه الحروف والثاني المبني وهو ما أشبه الحروف وهو المعني بقوله لشبه من الحروف مدني أي لشبه مقرب من الحروف فعلة البناء منحصرة عند المصنف رحمه الله تعالى في شبه الحرف ثم نوع المصنف وجوه الشبه في البيتين الذين بعد هذا البيت وهذا قريب من مذهب أبي علي الفارسي حيث جعل البناء منحصرا في شبه الحرف أو ما تضمن معناه وقد نص سيبويه رحمه الله على أن علة البناء كلها ترجع إلى شبه الحرف
(1/28)
-
وممن ذكره ابن أبي الربيع
(1/29)
-
( كالشبه الوضعى في اسمي جئتنا ... والمعنوي في متى وفي هنا )
( وكنياية عن الفعل بلا ... تأثر وكافتقار أصلا )
ذكر في هذين البيتين وجوه شبه الاسم بالحرف في أربعة مواضع
فالأول شبهه له في الوضع كأن يكون الاسم موضوعا على حرف
(1/30)
-
واحد كالتاء في ضربت أو على حرفين كنا في أكرمنا وإلى ذلك أشار بقوله في اسمي جئتنا فالتاء في جئتنا اسم لأنه فاعل وهو مبني لأنه أشبه الحرف في الوضع في كونه على حرف واحد وكذلك نا اسم لأنها مفعول وهو مبني لشبهه بالحرف في الوضع في كونه على حرفين
والثاني شبه الاسم له في المعنى وهو قسمان أحدهما ما أشبه حرفا موجودا والثاني ما أشبه حرفا غير موجود فمثال الأول متى فإنها مبنية لشبهها
(1/31)
-
الحرف في المعنى فإنها تستعمل للاستفهام نحو متى تقوم وللشرط نحو متى تقم أقم وفي الحالتين هي مشبهة لحرف موجود لأنها في الاستفهام كالهمزة وفي الشرط كإن ومثال الثاني هنا فإنها مبنية لشبهها حرفا كان ينبغي أن يوضع فلم يوضع
وذلك لأن الإشارة معنى من المعاني فحقها أن يوضع لها حرف يدل عليها كما وضعوا للنفى ما وللنهي لا وللتمني ليت وللترجي لعل ونحو ذلك فبنيت أسماء الإشارة لشبهها في المعنى حرفا مقدرا
والثالث شبهه له في النيابة عن الفعل وعدم التأثر بالعامل وذلك كأسماء الأفعال نحو دراك زيدا فدراك مبنى لشبهه بالحرف في كونه يعمل ولا يعمل فيه غيره كما أن الحرف كذلك
(1/32)
-
واحترز بقوله بلا تأثر عما ناب عن الفعل وهو متأثر بالعامل نحو ضربا زيدا فإنه نائب مناب اضرب وليس بمبني لتأثره بالعامل فإنه منصوب بالفعل المحذوف بخلاف دراك فإنه وإن كان نائبا عن أدرك فليس متأثرا بالعامل
وحاصل ما ذكره المصنف أن المصدر الموضوع موضع الفعل وأسماء الأفعال اشتركا في النيابة مناب الفعل لكن المصدر متأثر بالعامل فأعرب لعدم مشابهته الحرف وأسماء الأفعال غير متأثرة بالعامل فبنيت لمشابهتها الحرف في أنها نائبة عن الفعل وغير متأثرة به
وهذا الذي ذكره المصنف مبني على أن أسماء الأفعال لا محل لها من الإعراب والمسألة خلافية وسنذكر ذلك في باب أسماء الأفعال
(1/33)
-
والرابع شبه الحرف في الافتقار اللازم وإليه أشار بقوله وكافتقار أصلا وذلك كالأسماء الموصولة نحو الذي فإنها مفتقرة في سائر أحوالها إلى الصلة فأشبهت الحرف في ملازمة الافتقار فبنيت
وحاصل البيتين أن البناء يكون في ستة أبواب المضمرات وأسماء الشرط وأسماء الاستفهام وأسماء الإشارة وأسماء الأفعال والأسماء الموصولة
(1/34)
-
( ومعرب الأسماء ما قد سلما ... من شبه الحرف كأرض وسما )
يريد أن المعرب خلاف المبني وقد تقدم أن المبني ما أشبه الحرف فالمعرب ما لم يشبه الحرف وينقسم إلى صحيح وهو ما ليس آخره حرف علة كأرض وإلى معتل وهو ما آخره حرف علة كسما وسما لغة في الاسم وفيه ست لغات اسم بضم الهمزة وكسرها وسم بضم السين وكسرها وسما بضم السين وكسرها أيضا
وينقسم المعرب أيضا إلى متمكن أمكن وهو المنصرف كزيد وعمرو وإلى متمكن غير أمكن وهو غير المنصرف نحو أحمد ومساجد ومصابيح
(1/35)
-
فغير المتمكن هو المبني والمتمكن هو المعرب وهو قسمان متمكن أمكن ومتمكن غير أمكن
( وفعل أمر ومضي بنيا ... وأعربوا مضارعا إن عريا )
( من نون توكيد مباشر ومن ... نون إناث كير عن من فتن )
(1/36)
-
لما فرغ من بيان المعرب والمبني من الأسماء شرع فى بيان المعرب والمبني من الأفعال ومذهب البصريين أن الإعراب أصل في الأسماء فرع في الأفعال فالأصل في الفعل البناء عندهم وذهب الكوفيون إلى أن الإعراب أصل في الأسماء وفي الأفعال والأول هو الصحيح ونقل ضياء الدين بن العلج في البسيط أن بعض النحويين ذهب إلى أن الإعراب أصل في الأفعال فرع في الأسماء
(1/37)
-
والمبني من الأفعال ضربان
أحدهما ما اتفق على بنائه وهو الماضي وهو مبني على الفتح نحو ضرب وانطلق ما لم يتصل به واو جمع فيضم أو , ضمير رفع متحرك فيسكن
والثاني ما اختلف في بنائه والراجح أنه مبني وهو فعل الأمر نحو اضرب وهو مبني عند البصريين ومعرب عند الكوفيين
والمعرب من الأفعال هو المضارع ولا يعرب إلا إذا لم تتصل به نون التوكيد أو نون الإناث فمثال نون التوكيد المباشرة هل تضربن والفعل معها مبني على الفتح ولا فرق في ذلك بين الخفيفة والثقيلة فإن لم تتصل به لم يبن وذلك كما إذا
(1/38)
-
فصل بينه وبينها ألف اثنين نحو هل تضربان وأصله هل تضربانن فاجتمعت ثلاث نونات فحذفت الأولى وهى نون الرفع كراهة توالي الأمثال فصار هل تضربان
وكذلك يعرب الفعل المضارع إذا فصل بينه وبين نون التوكيد واو جمع أو ياء مخاطبة نحو هل تضربن يا زيدون وهل تضربن يا هند وأصل تضربن تضربونن فحذفت النون الأولى لتوالي الأمثال كما سبق فصار تضربون فحذفت الواو لالتقاء الساكنين فصار تضربن وكذلك تضربن أصله تضربينن ففعل به ما فعل بتضربونن
وهذا هو المراد بقوله وأعربوا مضارعا إن عريا من نون توكيد مباشر فشرط في إعرابه أن يعرى من ذلك ومفهومه أنه إذا لم يعر منه يكون مبنيا
فعلم أن مذهبه أن الفعل المضارع لا يبنى إلا إذا باشرته نون التوكيد نحو هل تضربن يا زيد فإن لم تباشره أعرب وهذا هو مذهب الجمهور
وذهب الأخفش إلى أنه مبني مع نون التوكيد سواء اتصلت به نون التوكيد أو لم تتصل ونقل عن بعضهم أنه معرب وإن اتصلت به نون التوكيد
ومثال ما اتصلت به نون الإناث الهندات يضربن والفعل معها مبني على السكون ونقل المصنف رحمه الله تعالى في بعض كتبه أنه لا خلاف في
(1/39)
-
بناء الفعل المضارع مع نون الإناث وليس كذلك بل الخلاف موجود وممن نقله الأستاذ أبو الحسن بن عصفور في شرح الإيضاح
( وكل حرف مستحق للبنا ... والأصل في المبني أن يسكنا )
( ومنه ذو فتح وذو كسر وضم ... كأين أمس حيث والساكن كم )
الحروف كلها مبنية إذ لا يعتورها ما تفتقر في دلالتها عليه إلى إعراب نحو أخذت من الدراهم فالتبعيض مستفاد من لفظ من بدون الإعراب
والأصل في البناء أن يكون على السكون لأنه أخف من الحركة ولا يحرك المبني إلا لسبب كالتخلص من التقاء الساكنين وقد تكون الحركة فتحة كأين وقام وإن وقد تكون كسرة كأمس وجير وقد تكون ضمة كحيث وهو اسم ومنذ وهو حرف إذا جررت به وأما السكون فنحو كم واضرب وأجل
(1/40)
-
وعلم مما مثلنا به أن البناء على الكسر والضم لا يكون في الفعل بل فى الاسم والحرف وأن البناء على الفتح أو السكون يكون في الاسم والفعل والحرف
( والرفع والنصب اجعلن إعرابا ... لاسم وفعل نحو لن أهابا )
( والاسم قد خصص بالجر كما ... قد خصص الفعل بأن ينجزما )
(1/41)
-
( فارفع بضم وانصبن فتحا وجر ... كسرا كذكر الله عبده يسر )
( واجزم بتسكين وغير ما ذكر ... ينوب نحو جا أخوبني نمر )
(1/42)
-
أنواع الإعراب أربعة الرفع والنصب والجر والجزم فأما الرفع والنصب فيشترك فيهما الأسماء والأفعال نحو زيد يقوم وإن زيدا لن يقوم وأما الجر فيختص بالأسماء نحو بزيد وأما الجزم فيختص بالأفعال نحو لم يضرب
والرفع يكون بالضمة والنصب يكون بالفتحة والجر يكون بالكسرة والجزم يكون بالسكون وما عدا ذلك يكون نائبا عنه كما نابت الواو عن الضمة في أخو والياء عن الكسرة في بني من قوله جا أخوبني نمر وسيذكر بعد هذا مواضع النيابة
( وارفع بواو وانصبن بالألف ... واجرر بياء ما من الأسما أصف )
شرع في بيان ما يعرب بالنيابة عما سبق ذكره والمراد بالأسماء التي سيصفها
(1/43)
-
الأسماء الستة وهي أب وأخ وحم وهن وفوه وذو مال فهذه ترفع بالواو نحو جاء أبو زيد وتنصب بالألف نحو رأيت أباه وتجر بالياء نحو مررت بأبيه والمشهور أنها معربة بالحروف فالواو نائبة عن الضمة والألف نائبة عن الفتحة والياء نائبة عن الكسرة وهذا هو الذي أشار إليه المصنف بقوله وارفع بواو إلى آخر البيت والصحيح أنها معربة بحركات مقدرة على الواو والألف والياء فالرفع بضمة مقدرة على الواو والنصب بفتحة مقدرة على الألف والجر بكسرة مقدرة على الياء فعلى هذا المذهب الصحيح لم ينب شيء عن شيء مما سبق ذكره
(1/44)
-
( من ذاك ذو إن صحبة أبانا ... والفم حيث الميم منه يانا )
أى من الأسماء التي ترفع بالواو وتنصب بالألف وتجر بالياء ذو وفم ولكن يشترط في ذو أن تكون بمعنى صاحب نحو جائني ذو مال أي صاحب مال وهو المراد بقوله إن صحبة أبانا أي إن أفهم صحبة واحترز بذلك عن ذو الطائية فإنها لا تفهم صحبة بل هي بمعنى الذي فلا تكون مثل ذي بمعنى صاحب بل تكون مبنية وآخرها الواو رفعا ونصبا وجرا نحو جاءني ذو قام ورأيت ذو قام ومررت بذو قام ومنه قوله
( فإما كرام موسرون لقيتهم ... فحسبي من ذو عندهم ما كفانيا )
(1/45)

وكذلك يشترط في إعراب الفم بهذه الأحرف زوال الميم منه نحو هذا فوه ورأيت فاه ونظرت إلى فيه وإليه أشار بقوله والفم حيث الميم منه بانا أي انفصلت منه الميم أي زالت منه فإن لم تزل منه أعرب بالحركات نحو هذا فم ورأيت فما ونظرت إلى فم
( أب أخ حم كذاك وهن ... والنقص في هذا الأخير أحسن )
( وفي أب وتالييه يندر ... وقصرها من نقصهن أشهر )
يعني أن أبا وأخا وحما تجري مجرى ذو وفم اللذين سبق ذكرها
(1/48)
-
فترفع بالواو وتنصب بالألف وتجر بالياء نحو هذا أبوه وأخوه وحموها ورأيت أباه وأخاه وحماها ومررت بأبيه وأخيه وحميها وهذه هي اللغة المشهورة في هذه الثلاثة وسيذكر المصنف في هذه الثلاثة لغتين أخريين
وأما هن فالفصيح فيه أن يعرب بالحركات الظاهرة على النون ولا يكون في آخره حرف علة نحو هذا هن زيد ورأيت هن زيد ومررت بهن زيد وإليه أشار بقوله والنقص في هذا الأخير أحسن أي النقص في هن أحسن من الإتمام والإتمام جائز لكنه قليل جدا هذا هنوه ورأيت هناه ونظرت إلى هنيه وأنكر الفراء جواز إتمامه وهو محجوج بحكاية سيبويه الإتمام عن العرب ومن حفظ حجة على من لم يحفظ
وأشار المصنف بقوله وفي أب وتالييه يندر إلى آخر البيت إلى اللغتين الباقيتين في أب وتالييه وهما أخ وحم فإحدى اللغتين النقص وهو حذف الواو والألف والياء والإعراب بالحركات الظاهرة على الباء والخاء والميم نحو هذا أبه وأخه وحمها ورأيت أبه وأخه وحمها ومررت بأبه وأخه وحمها وعليه قوله
(1/49)

FILSAFAT ISLAM


Pengertian Filsafat Islam. 
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam.

Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.

Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.

Tujuan dan manfaat mempelajarinya. Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan

2. Pengaruh Filsafat Islam terhadap berbagai studi keislaman, khususnya dalam bidang tasawuf, teologi, dan fiqih

Filsafat Islam dengan Ilmu Tasawuf
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua, yaitu Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud).

Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam (Teologi)
Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.

Filsafat Islam dengan Ilmu Fiqh
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur¡¦an yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa ¡¥Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhul Falsafatil Islamiyah (pengantar sejarah Islam) menyatakan, bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasar oleh Asy-Syafi¡¦ie, tentu akan melihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.

3. Filsafat Al ¡V Kindi
Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al Qur¡¦an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi

Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan.
Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga hal yaitu :
1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian
3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama

Filsafat Metafisika
Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak

Filsafat Jiwa
Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion.

4. Filsafat Al-Farabi
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.

Talfiq
Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran.

Metafisika
Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud.

Jiwa
Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Politik
Pemikiran al Farabi tentang politik yang amat penting ialah tentang politik yang dia tuangkan kedalam dua karyanya, al siyasah al madaniyyah (pemerintahan politik) dan ara¡¦ ala madinah al fadhilah (pendapaf-pendapat tentang Negara utama). Menurut al Farabi yang terpenting dalam Negara adalah pimpanan atau penguasanya, bersama sama bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ tubuh yahng lebih rendah secara berturut-turut.

Moral
Al Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga Negara. Yakni :
1. keutamaan teoritis yaitu prinsip-prinsip pengetahuna yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan cara kontemplasi, penelitian,dan melalui belajar dan mengajar.
2. keutamaan pemikiran yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan.
3. keutamaan akhlak , bertujuan mencari kebaikan
4. kautamaan amaliyah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.

Teori Kenabian
Teori kenabian yang di ajukan al Farabidi motifisir pemikiran filosof pada masanya yang mengingkari kesistensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudidab Abu baker Muhammad ibn Zakariya al Razi. Menurut mereka para sufi berkemampuan untruk mengadakan komunikasi dengan aql Fa¡¦al.


5. Filsafat Ibn Sina

Tentang Wujud
Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu :
a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril.

Al Tawfiq (rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al Farabi, Ibn Sina juga mengusahakan pemanduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filsof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut juga sebagai akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi, tejadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil, yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad.

Emanasi
Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya.

Jiwa
Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi sebagai berikut :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, mempunya tiga daya : makan, tumbuh , dan berkembang biak.
b. Jiwa binatang, mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudriakt).
c. Jiwa manusia, mempunyai dua daya : praktis (yang berhubungan dengan badan), teoritis (yang hubungannya dengan hal-hal abstrak)

Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka.

Tasawuf
Ibnu Sina memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma¡¦rifat dari akal af¡¦al. Dalam pemahaman Ibn Sina jiwa-jiwa manusia tidak beda dengan lapangan ma¡¦rifahnya dan ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal af¡¦al.

Mengenai Tuhan dengan manusia, bertempatnya Tuhan dihati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebagian pencaran dari hubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung kaluar dari Allah, tetapi melalui akal af¡¦al.

6. Filsafat Al-Ghazali

Epistimologi
Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.

Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci ma¡¦rifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini.

Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.

Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Al Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu :
a. kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
b. kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berfikirnya secara mendalam.
c. kaum penengkar.

Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari ahklak, yaitu
a. Mempelajari akhlak sebagai studi murni teoritis.
b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
c. Karena akhlak merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral.

Kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesengan indrawi seperti makan dan minum, sedangkan yang tertingi ialah berada dekat dengan Allah dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa.

Jiwa
Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Setelah kematian jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adala setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bentuannya jiwa bisa mendapatkan bekal hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk utnuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia haus dirawat baik-baik. Menurut al Ghazali setiap perbuatan akal menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualiatas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan dengan sadar.

7. Filsafat Ibnu Thufail

Filsafat dan Agama
Menurutnya filsafat dan agama adalah selaras, bukan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksud agama disini adalah batin dan syari¡¦at. Ia juga menyadari adanya perbedaan tingkat pemahaman pada manusia. Ia menganggap tidak semua orang dapat mencapai kepada wajib al wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh hayy. ¡¥Asal¡¦ ¡¥salaman¡¦ dan masyarakat awam tidak mungkin mengetahui al haqq, karena keterbatasan akalnya.

Metafisika
Bagi Ibn Thufail, dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa ada yang penggerak di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah.
Ibn Thufail membagi sifat Allah kepada dua macam :
a. sifat yang menetapkam wujud zat Allah, seperti ilmu, qudrat dan sifat-sifat ini adalah zat-Nya sendiri.
b. Sifat yang menfikan hal kebendaan dari zat Allah, sehingga Allah maha suci dari ikatan hal kebendaan.

Epistimologi
Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma¡¦rifat melalui akal ditempuh dengan jalam keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma¡¦rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma¡¦rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma¡¦rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.

Jiwa
Ada tiga kategori jiwa, yaitu :
a. jiwa fadhilah, yakni kekal dalam kebahagiaan karena menganal Tuhan dan terus mengerahkan perhatian dan renungan kepadanya. kelak jiwa ini akan di tempakan di sorga.
b. Jiwa fasiqah, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya dineraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah menganal Allah, tetapi kemudian melupakannya dengan melakukan berbagai maksiat.
c. Jiwa jahiliyyah, yakkni jiwa yang musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali, jiwa ini sama halnya dengan hewan melata.
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang harus diterapkan dalam hidup :
« amaliyah yang menyerupai hewan (amaliyah yang dibutuhkan dan juga dapat menjadi penghalang untuk meningkatkan amaliyah berikutnya yang lebih tinggi).
« Amaliyah yang menyerupai benda angkasa, yakni melakukan hubungan baik dengan dibawahnya, dengan dirinya, dengan Tuhannya.
« Amaliyah yang menyerupai al wajib al wujud, amaliyah ini akan mampu mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sarana akhir dari prinsip moral.

8. Filsafat Ibn Rusyd
Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal.
Metode-metode pembuktian kebenaran

Metode-metode yang dapat dilakukan manusia untuk membuktikan kebenaran ada tiga macam :
a. Metode Demonstrasi (al burhaniah)
b. Metode Dialektik (al Jadaliyyah)
c. Metode Retorika (al khatabiyyah)

Metafisika
Dalam masalah ketuhanan ia berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharik al awal). Sifat positif kepada Allah adalad akal dan ma¡¦qul. Wujud Allah aialah esa-Nya. Wujud dan keesaannya tidak berbeda dari zat-Nya. Sebagai orang berfikir rasional, ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran rasional. Namun ia tetap berpegang kepada sumber agama, yakni al Qur¡¦an. Dalam mengenal sang pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap wujud yang diciptakan Allah.

Kenabian
Ibn Rusyd tdak mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mengaku dirinya adalah nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizt) sebagai tantang terhadap lawan-lawannya. Maka Al Qur¡¦an merupakan mukjizat terbesar, karena syari¡¦at yang dimuatnya berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan pelajari kecuali dengan wahyu.

Ibn Rusyd mengadakan pemisahan anatara dua macam mukjizat. Pertama, mukjizat Iuaran (al barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenannya seorang nabi . kedua, mukjizat yang sesuai dengan (al-munasib) sifat kenabian tersebut, yaitu syari¡¦at yang yang dibawanya untuk kebahagiaan umat.

Tingkat Kemampuan Manusia
Pembenaran atau pembuktian sesuatu memang dipengaruhi oleh kapasitas individual. Diantaranya ada yang melakukan pembuktian (kebenaran) dengan cara burhan (demontrasi), ada juga lewat dialektik (jadali) seteguh ahli burhan melakukan demontrasi karena memang kemampuannya memang hanya sampai disitu, dam ada lagi melalui dalil retorik (khatabi) seteguh ahli burhan melakukan pembuktian dengan dalil-dalil demonstratif.

Alam semesta antara qadim dan hadits
Kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indra, seperti air, udara, hewan, bumi, dan tumbuh-tumbuhan terbagi beberapa kondisi yaitu : wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri, tetapi berasal dari sesuatu yang berbeda, yaitu penyebab gerak (sebab fa¡¦il, Officent cause), tercipta dari bahan (materi) tertentu, dan bahwa wujud ini keberadaannya didahului oleh zaman. Tingkat wujud semacam ini telah disepakati oleh semua pihak, baik pengikut Asy¡¦ari maupun para filsuf klasik, untuk menyebutnya sebagai (muhdatsah) tercipta setelah tidak ada.

9. Filsafat Suhrowardi Al Maktul
- Pandangan Suhrowardi terhadap metafisika dan cahaya pada dasarnya tetap bersifat immaterial.
- Entitas yang pertama yang diciptakan Tuhan adalah akal pertama, kemudian melalui proses emanasi timbul akal kedua dan seterusnya.

Epistimologi
- Ia mengembangkan teori iluminasi dengan cara menggabungkan akal dan intuisi.
- Tujuan akhir pengetahuan iluminasi dan ma¡¦rifat yang merupakan puncak pengetahuan.

Derajat tauhid
a. Tak ada Tuhan kecuali Allah (tauhid orang awam).
b. Tak ada Dia kecuali Dia.
c. Tak ada Engkau kecuali Engkau.
d. Tak Aku kecuali Aku.
e. Tak wujud kecuali wujud ¡VNya.

Kosmologi
- Alam semesta adalah manisfestasi cahaya pertama (Tuhan).
- 4 tingkatan alam :
a. Alam akal (alam al uqlu)
b. Alam jiwa (alam an nufus)
c. Alam materi (alam al ajsam)
d. Alam mitsal (alam al mitsal)

Psikologi
- Disamping ada jiwa dan akal ada sumber lain pengetahuan yairtu persepsi batin.
- 5 tahap perkembangan spiritual :
1. aku. 2. engkau tak ada 3. aku tidak ada.
4. hanya engkau yang ada.


10. Filsafat Ibn ¡¥Arabi

Filsafat Ibn ¡¥Arabi tentang wujud (realitas) Tuhan, alam semesta, dan manusia.
- Pengertian Wahdat al wujud.
Wahdat al Wujud terdiri dari dua kata, yaitu : wahdat (sendiri, tunggal,kesatuan) sedangkan wujud (ada). Dengan demikian Wahdat al wujud berarti kesatuan wujud.
- Kata al wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan format (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

Tuhan
- Tuhan yang sebenarnya adalah Allah yaitu yang Esa, mutlak, tak terbatas, dan wujud Nya meliputi segala sesuatu.
- Antara mahluk (manusia) dan al haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya adalah wujud Tuhan itu.
- Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri Nya.
- Pada benda-denda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan.
- Allah - Yang tak terbatas
- Tuhan - Cahaya
- Pencipta - Wujud
- Yang mutlak - Ada
- Yang sebenarnya

Alam semesta
- alam semesta terbagi atas tiga :
1. Tajalli (Penampakan Tuhan).
2. Ciptaan Allah.
3. Tanda kekuasaan Nya

Manusia
Manusia adalah Mahluk : - Ruhani - Jasmani
Manusia adalah mahluk ruhani yang menggunakan jasmaninya sebagai kendaraan dan alat untuk mencapai tujuannya yaitu kembali kepada Allah. Manusia adakah mahluk jasmani (wujud manusia hanyalah photocopy dari wujud Tuhan).


11. Filsafat Mulla Shadra

Epistimologi
- Tuhan bisa di capai pengetahuan
- Perjalanan akal menuju Tuhan melalui 4 tahap :
a. Dari mahkluk (halq) menuju hakikat kebenaran atau pencipta (haqq).
b. Dari hakiakat ke hakiakat dengan hakikat (min al haqq ila al haqq bi al haqq).
c. Dari hakikat kepada mahluk dengan hakikat (min al haqq ila al khalq bi al haqq).
d. Dari mahluk ke mahluk ke mahluk dengan hakikat (min al khalq ila al khalq bi al haqq)

Metafisika
- Metafisika Mulla Shadra dibangun atas tiga pilar :
1. Wahdah (unity).
2. Ashalah (wujud primer)
3. Tasykik (gradation/wujud)
- Semuanya adalah realitas tunggal (wujud itu satu)
- Wujud (realitas) itu satu tetapi berbeda intensitasnya
- Wujud Allah berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi)

Jiwa
- jiwa adalah entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ.
- Jiwa manggunakan badan untuk berpindah dari alam materi kealam spiritual.
- Jiwa manusia edan jiwa hewan sama-sam mamiliki kemampuan melepaskan dirinya dengan imaginasi akltual (khayal bi al fi¡¦l), sedangkan manusia dengan akal actual (¡¥aql bi al fi¡¦l)

Moral
- Untuk memperoleh kebahagiaan tertinggi manusia harus mengetahui petunnjuk Allah (Islam)
- Manusia sangat tergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses inteleksi (ta¡¦aqqul).
- Pengetahuan dapat mengalih bentuk orang yang tahu dalam proses trans-substansi (harka jauharia) nya menuju kesempurnaan.

12. Filsafat Muhammad Iqbal

Agama dan Filsafat
- Agama ialah suatu konsep dari suatu pengalaman yang kompleks, sebagian bersifat rasional, etik, dan sebagian lagi bersifat spiritual.
- Agama bukan semata-semata hanya pikiran atau cuma perasaan juga bukan sekedar tindakan tetapi merupakan ekspresi manusia secara keseluruhan, karenanya agama tak bertentangan dengan filsafat, bahkan merupakan suatu segi yang penting dari pengalama total, tentang realitas yang harus dirumuskan oleh filsafat.

Alam dan Manusia
- Alam yang konkret dalam (al-qur¡¦an) merupakan satu realitas ciptaan, dimana yang katual dan yang ideal bergabung dan memperlihatkan adanya suatu pola rasional yang jelas.
- Manusia sebagai kekuatan yang sangat dinamis didalamnya (alam semesta) merupakan agen utama atau pekerja bersama Tuhan di dalam proses perealisasian potensi-potensi realitas yang tak terbatas.

Tuhan
- ia mendapatkan beberapa kesejajaran dengan konsep dinamis tentang
Tuhan sebagai kehendak atau energi yang kreatif yang terdapat dalan teori atomistic teologis al Asy¡¦ary.
- Tuhan sebagai ego yang tak terbatas yang immanen dalam akal, dan ditunjuk oleh Al Qur¡¦an sebagai yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin.
- iradah yang abadi (eternal will) dan kaindahan digolongkan menjadi salah satu sifat darinya, sikap yang meilingkupi nilai seni dan susila.

Ego/Khudi
- Bersifat maha pencipta, daya ciptanya tidak terbatas
- Bersifat maha mengetahui
- Bersifat maha kuasa
- Bersifat abadi

Laman